Ketika Allah Terasa Jauh

Author: Silvia Gautama


Pernahkah Anda merasa doa-doa Anda hanya membentur langit-langit dan mengalami kesuraman rohani? Saya pernah, bahkan saya mengalaminya beberapa kali.


Saya bangun pada suatu pagi dan merasa semua perasaan rohani saya lenyap. Saya berdoa tapi dengan perasaan yang aneh, seperti Tuhan itu jauh sekali dan tidak mendengar doa saya. Saya bertanya-tanya apa yang salah dari dalam diri saya. Kenapa saya seperti tidak dapat menembus tembok yang menghalangi saya berbicara dengan Tuhan?


Saya berpikir Tuhan marah kepada saya. Saya kira saya telah berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan hati Tuhan. Saya putus asa dan bingung. Kenapa begini kenapa begitu adalah pertanyaan yang kerap muncul dalam pikiran saya.



Saya pernah membaca buku karangan Rick Warren, The Purpose Driven Life, untuk mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan, berarti kita harus menjadi sahabat-Nya. Menjadi sahabat yang baik dapat dilakukan melalui percakapan yang terus menerus. Bercakap-cakap dengan Tuhan sementara Anda bekerja, berbelanja dan melakukan tugas-tugas rutin lainnya. Anda bisa memilih satu kalimat pendek yang bisa diulangi kepada Yesus dalam satu nafas: “Engkau menyertaiku”, “Aku bergantung kepada-Mu”, “Aku milik-Mu.” Katakan itu sesering mungkin sampai berakar di hati Anda.


Suatu kali, saya merasa amat kesal dengan teman-teman saya, situasi yang saya hadapi, dan masalah yang tak kunjung selesai sampai akhirnya pada titik saya capek dan ingin sekali menangis. Saya pergi ke toilet di lantai paling atas kampus saya karena biasanya sepi, mengunci diri di toilet dan menangis selama satu jam di sana hehe. Saya menangis sambil berkata “Tuhan, Aku tahu Engkau disini dan menyertaiku. Aku butuh penghiburan” berulang-ulang.


Tapi, bukan berarti tiba-tiba saya mendengar suara Tuhan atau mood saya langsung berubah menjadi gembira. Tapi entah kenapa, saya tahu Tuhan hadir di sana ketika saya menangis dan Ia memeluk saya. Saya tidak mendengar suara-Nya atau melihat Dia, tapi saya bisa merasakan kehadiran-Nya.


Setelah puas menangis, saya keluar dari toilet dan kembali menghadapi teman-teman saya yang menyebalkan. Mereka masih menyebalkan (ups), tapi ada kekuatan baru untuk menghadapi mereka lagi. Selalu saya tanamkan di otak saya bahwa Tuhan mengasihi mereka dan saya pun harus melakukan yang sama. Yang menyebalkan itu roh jahat bukan mereka.


Setelah peristiwa itu saya tahu bahwa Tuhan selalu ada, bahkan ketika Anda tidak menyadari-Nya karena kehadiran-Nya terlalu dahsyat untuk dapat diukur dengan emosi belaka. Ketika saya mengalami krisis komunikasi dengan Tuhan lagi, saya tetap memaksakan diri untuk berdoa dan mencari Dia. Saya belajar untuk mengatakan secara persis apa yang saya rasakan kepada-Nya. Belajar untuk tidak menyimpan luka dan menceritakan apapun yang saya alami. He’s my Father. There’s no taboo topic for Him. Agak sulit memang. Tapi mari kita belajar untuk mempercayai Dia J. Cerita sama Dia banyak keuntungan. Dia nggak mungkin bocorin rahasia kita dan kita sendiri juga merasa lega.


Dan jangan pernah meragukan Tuhan. V. Raymond Edman pernah berkata, ”Jangan pernah meragukan di dalam gelap apa yang Allah katakan kepada Anda di dalam terang.” Mari kita pusatkan perhatian kita kepada Tuhan, dan kebaikan-Nya yang tidak berkesudahan.


Yesus memberikan segalanya agar Anda dan saya bisa memiliki. Dia mati di kayu salib supaya kita bisa hidup selamanya. Ini sudah membuktikan betapa Tuhan teramat mencintai kita.

Mari bersama-sama kita rubuhkan tembok yang menghalangi kita berkomunikasi dengan Tuhan dan berlari menyongsong Dia.


One Response so far.

Leave a Reply