Author : Felicia Yosiana Gunawan
Setelah saya sempat bergumul lama mengenai bakat dan talenta, saya sempat uring-uringan sama Tuhan. Kenapa? Karena saya merasa kok saya sangat dibatasi hidupnya? Bukan, bukan, bukan dibatasi soal komitmen hidup kudus yang saya dan beberapa teman Tim Doa jalani, tapi dalam pengolahan bakat-minat kami.
Sekedar info, saya meninggalkan minat dan talenta menulis fiksi saya sejak pertengahan 2011. Dari situ saya fokus menulis testimoni dan mengolah blog Adoniyah dan beberapa proyek Tim Doa lainnya (seperti desain buku, kaos, dst). Tapi masih ada jurang kosong yang dulu ditempati oleh penulisan fiksi. Dan saya sempat bingung bagaimana mengisinya.
Pertama-tama, saya takut sekali saya jatuh ke dalam dosa lama saya yang terbesar: kegilaan akan fantasi. Yap, ini dosa. Saya itu dulu akan terus dan terus memutar adegan fiksi dan mengolahnya di otak saya. Saya menulis fanfictions*, dan saya berusaha sebisa mungkin menghidupkan setiap karakter saya dalam penulisan.
Kedua, saya takut kembali ke dalam lubang kesombongan dan keinginan untuk dipuji atau diakui. Ini rawan banget buat saya! Dengan bekgron penulis, saya—bukan berniat sombong—sudah sering dapat pujian dari para penulis fanfictions dari berbagai benua. Mereka bilang penulisan saya luwes, grammar saya bagus, karakternya hidup dan plot ceritanya benar-benar menarik en bikin penasaran. Dan nggak pakai malu-malu lagi untuk saya akui, semua pujian itu saya ambil untuk diri sendiri, sadar tidak sadar. Alih-alih berterima kasih dan menyalurkannya kepada Tuhan, saya meraup semua itu sendirian. Memang dulu itu saya belum terlalu komit untuk hidup bareng Dia...
Ketiga, saya tidak mau mengisi jurang fiksi itu lagi dengan fiksi lagi karena takut saya hanya akan membangkitkan keinginan daging saya. Saya benar-benar hati-hati dalam hal ini karena saya tahu: saya lemah main api. Saya takut sekali kalau saya kembali menulis fiksi—yang kali ini akan saya tujukan untuk Tuhan—saya sebenarnya hanya memuaskan keinginan daging yang saya timbun dalam-dalam.
Oke, sudah cukupkah alibi saya dalam hal ini? Rupanya tidak. Di satu sisi, saya ingin sekali menulis dan mempersembahkan karya saya untuk Tuhan. Saya juga ingin menulis untuk menjangkau para pecinta novel dan karya fiksi agar menyerapi nilai-nilai iman Kristiani. Tentu saya tidak akan berhenti menulis testimoni juga. Tapi tetap saja saya takut akan ketiga hal di atas. Saya takut motivasi saya salah, dan takut jatuh ke lubang lama. Semua ini terus meneror pikiran saya sampai akhirnya saya memberanikan diri membuka lagi website fanfiction dan melihat karya-karya lama saya.
Saat saya sedang melihat-lihat komentar orang-orang yang membaca, pujian mereka, dan tulisan saya sendiri, tiba-tiba Tuhan nyeletuk, “Menurutmu, siapa yang akan mendapatkan sanjungan dari segala bakat menulis ini?”
Tanpa ragu-ragu saya menjawab lesu, “Anda...”
Tuhan mengangguk kalem. “Lalu, siapa juga yang akan mendapatkan segala kehormatan atas komentar baik para pembaca yang membludak ini?”
“Anda,” kata saya lebih mantap.
Tuhan mengalihkan pandangan dari monitor komputer kepada saya. “Apa kamu akan masih terus menyanjung dan memuliakan Aku?”
“Ya.”
Tuhan yang benar-benar luar biasa Yesus itu... Dan di situlah titik balik pemikiran saya atas tuntunan Hikmat.
Begini Hikmat menjelaskan kepada saya: Bukan pekerjaannya yang salah, tapi sikap hatinya. Mari kita lihat sebuah ilustrasi...
Bila Anda bekerja sebagai seorang pekerja sosial yang tekun dan ulet, bukankah itu baik? Bukankah itu pekerjaan yang luar biasa bagi sesama dan Tuhan? Orang-orang juga tentu akan melihat Anda sebagai pejuang kemanusiaan yang luar biasa. Apakah pekerjaan itu salah? Tentu tidak. Tidak ada yang salah dari menggunakan tenaga dan waktu kita untuk memperhatikan dan melayani sesama.
Tapi mari kita tilik hati Anda. Misalnya saja di dalam sana ada setitik rasa ingin dipuji dan disanjung. Ada juga perasaan ingin disorot kamera dan mendapatkan balasan. Dan ada perasaan ingin diperhatikan serta mendapat balas budi dari Tuhan. Apakah ini semua baik dan benar? Tidak, tentu saja. Dan bagaimanakah nasib ‘benar’ dan ‘salahnya’ pekerjaan Anda? Di mata manusia—yang tidak dapat membaca pikiran dan hati Anda—Anda tentu benar. Perbuatan Anda juga dibenarkan Alkitab dan Firman Allah. Tidak ada yang salah, lulus tes dari segi aksi. Tapi kita lihat segi yang lain: dari sisi Tuhan—yang mengetahui isi dan kedalaman hati setiap orang. Apakah sikap hati tersebut benar? Tidak, tentunya. Tidak usah saya jabarkan ayat-ayat Firman mengenai ini pun Anda pasti ingat prinsip memberi ala Yesus Kristus.
Jadi, benarkah perbuatan Anda di mata Tuhan? Tidak. Kenapa? Karena sikap hati yang salah menodai perbuatan Anda dari segi presepsi. Nah, kira-kira seperti itu contoh yang diberikan Roh Kudus kepada saya. Dan ini menjawab pertanyaan saya mengenai bakat dan minat.
Penerangan ini juga memberikan saya pencerahan baru terhadap ayat yang sudah sering saya pakai dan dengar, Yoel 3:10. Di sana tertulis, “Tempalah mata bajakmu menjadi pedang, dan pisau-pisau pemangkasmu menjadi tombak...”
Sampai situ dulu dan mari kita tilik bersama Roh Kudus. Lihat baik-baik kata bajak dan pedang. Bukankah dua benda itu adalah benda yang kegunaannya berbeda jauh? Yang satu dipergunakan petani untuk menggemburkan lahan, yang satu digunakan untuk berperang. Tapi kenapa ada Firman yang menyuruh kita untuk menempa hal-hal yang kelihatannya ‘netral’ menjadi senjata untuk berperang? Soal alasan urgensi ini, jawabannya ada di ayat 13 dan 14. Dan dari ayat ini pula kita mendapatkan satu pencerahan kalau peperangan yang dimaksud adalah peperangan kita sebagai anak-anak Allah melawan si jahat. Tapi mari kita kembali ke poin awal: kegunaan kedua benda ini.
Roh Kudus menjelaskan kepada saya bahwa ini adalah sebuah aksi untuk menggunakan apapun yang Anda miliki untuk bekerja bagi Tuhan. Walaupun kelihatannya talenta atau bakat tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan ‘pedang’ atau peperangan rohani, tapi ternyata semua itu bisa ‘ditempa’ atau diolah menjadi senjata! Bukankah ini luar biasa? Berarti bila Anda punya bakat menggambar, Anda tidak perlu membuangnya demi mengikut Tuhan! Anda hanya perlu mengolah talenta tersebut menjadi sesuatu yang menyenangkan Tuhan dan sesuai dengan keinginan hati-Nya! Begitu juga berlaku bagi bakat-bakat Anda yang lain seperti menulis, berbicara di depan umum, menari, dan sebagainya. Asal Anda nggak bakat nyolong sih saya rasa Tuhan tidak akan keberatan...
Dari sini, saya kemudian diingatkan mengenai para penulis dan ahli seni lainnya yang mempersembahkan talenta mereka untuk Tuhan. C.S Lewis misalnya, menggunakan imajinasi dan bakatnya untuk menulis karya fiksi mengenai perjalanan kehidupan rohaninya dan menjangkau anak-anak agar mengenal Tuhan dan nilai-nilai-Nya. Para pelukis menggunakan talenta mereka untuk menggambarkan ilustrasi Alkitab untuk membantu orang-orang Kristen yang tidak bisa baca-tulis. Para komposer dan ahli muski menggunakan bakat mereka untuk membuat lagu-lagu yang meninggikan nama-Nya dan menyalurkan kekuatan Allah. Dan saya harus menyebutkan apa lagi? Ahli arkeologi yang mendevosikan hidupnya untuk mencari artefak-artefak Biblikal seperti Ron Wyatt? Atau para aktor dan aktris yang dengan sukarela berakting dalam dunia perfilm-an Kristiani seperti Kendrick bersaudara? Anda dapat melanjutkan daftarnya.
Jadi, bersukacitalah! Tuhan tidak menyuruh Anda dan saya untuk meninggalkan bakat-bakat yang tadinya Anda pikir tidak berguna untuk evangelisasi! Lebih baik dan menantang dari itu, Ia menyuruh kita untuk mengolahnya demi kemuliaan nama-Nya!
Tapi jangan lupa, ingat ilustrasi yang diberikan Roh Kudus di atas. Hati Anda adalah kunci dari segala penghakiman Allah atas setiap individu. Apakah Anda benar-benar ingin melayani Dia lewat segala bakat dan talenta Anda? Atau itu hanya ‘masker’ dan topeng untuk menyalurkan keinginan daging Anda? Pilihannya tentu ada pada setiap individu.
*Menunjuk kepada jenis fiksi tidak murni yang ditulis berdasarkan sebuah karya fiksi official seseorang, seperti misalnya Narnia. Misalnya saya tidak suka jalan cerita aslinya dan hendak mengembangkannya menjadi yang baru sesuka saya, maka itulah fanfiction. Intinya, ‘fiksi’ karangan para ‘fans’ berbasiskan fiksi yang telah terbit secara sah (dalam bentuk film, drama, komik, novel atau apapun).
Validasi : Yoel 3:10-14, Ibrani 6:1-12, 1 Yohanes 3:19-20, Efesus 5:16, Kolose 4:5.