Author : Felicia Yosiana G
4 Januari 2012.
Allah Bapa memanggil saya pada sore hari untuk bertemu dengan-Nya secara ‘formal’. Saya, yang waktu itu baru selesai mandi, cuma bisa bertanya, “Ada apa, Tuhan?”
Dengan mata roh dan iman, saya merasakan Bapa tersenyum kecil. Cahaya yang keluar dari diri-Nya membawa aroma kehangatan dan kasih yang lembut. “Apakah seorang anak harus punya alasan untuk bertemu Bapanya?”
Hikmat mengalir ke dalam roh saya dan saya tertohok karena telah lama tidak menyediakan waktu belajar dengan Bapa. Pas jam 5 sore, saya duduk di karpet penyembahan dan mulai menantikan Tuhan.
“Oh iya,” celetuk saya, “apa saya perlu mematahkan kuasa roh jahat lebih dahulu? Atau minta proteksi?” Ini saya tanyakan karena biasanya, sebelum saya berdoa, saya selalu mengikat dan mematahkan kuasa roh-roh yang bukan berasal dari Allah.
“Minta saja,” kata Tuhan ringan.
Sedetik setelah saya meminta perlindungan, dengan mata roh, sekali lagi saya melihat sesuatu yang menakjubkan: para malaikat-malaikat Allah diposisikan di sekitar dan dalam kamar saya. Dua malaikat menjaga pintu. Saya begitu kagum, Ia menepati janjinya untuk menambahkan jumlah penjaga saya! (Note: tadinya, hanya ada satu malaikat di depan pintu kamar saya). Ada seorang di dekat tempat tidur saya, dan beberapa lainnya di sekitar kamar. Saat saya masih sulit percaya, salah seorang dari mereka menengok ke arah saya dan tersenyum. Ia berkata, “Go and study with your Father. We’ll protect you.”
Maka, dengan modal iman dan musik rohani instrumental ‘Our Daily Bread’, saya pun memasuki pelataran Bapa dengan kepercayaan penuh. Ia telah menanti saya. Omong-omong, saya melihat Tuhan Yesus nyengir lebar kepada saya. Raut wajah-Nya sangat gembira. Sebelum saya memasuki hadirat Bapa, Ia berkata, “Go and study with the Father. He desires your company.”
Saya mengangguk. Sesi belajar dengan Bapa selalu menyenangkan dan membawa damai yang tidak terkatakan.
“Hello, Father.”
“Hello, daughter.” Allah Bapa tersenyum ringan. Roh saya yang mengetahuinya, karena tidak mungkin menatap Bapa secara langsung; Ia terlalu besar dan penuh cahaya. Saya hanya bisa melihat bagian tubuh-Nya dari pinggang ke bawah. “Datanglah ke sini. Jangan menatap lantai terus, kau akan depresi kalau begitu terus. Sini, tatap Aku.”
Roh saya menengadahkan kepala dari posisi sujud sembah. “Saya ingin bertanya...”
Ia memotong kata-kata saya di situ dengan gerakan tangan-Nya. “Jangan soal itu dulu. Aku bukan sekedar mesin penjawab, bukan? Yang Kuinginkan adalah pencarian akan Aku atas Kasih, dan Kasih semata, nak,” lanjut-Nya. Nada-Nya agak pilu dan menyakitkan saat Ia berkata demikian. Bapa kemudian sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya ia sudah membaca raut wajah saya yang agak loyo. “Berceritalah. Aku akan mendengarkan.”
Betapa rendah hatinya Ia! Ia adalah Allah, Tuhan yang mengetahui semuanya, tapi Ia mau mendengar cerita dan keluh kesah seorang manusia seperti saya! “Saya kesal, Tuhan,” adu saya. “Saya kesal dengan manusia.”
Ia mengangguk simpati. “Sesamamu.”
“Ya, sesama saya.”
Bapa kemudian memberikan tanda agar saya melanjutkan cerita saya dan saya menaati-Nya. Setelah panjang lebar saya bercerita dan berkeluh kesah, Ia terdiam sejenak, memberikan jeda dramatis yang sangat indah pada pertemuan sore itu. Secara mendadak, kemudian Ia membisikan Hikmat kepada saya. Well, sebenarnya kami tidak butuh komunikasi. Hikmat selalu menjabarkan semuanya kepada saya dalam hitungan detik. Tapi hanya karena kerendahan hati-Nya sajalah Ia melayakkan manusia untuk bertemu dengan-Nya di ruanh kduus-Nya.
Hikmat menjelaskan betapa kecilnya manusia itu di hadapan Allah. Tapi Allah tidak memusingkan itu. Alih-alih memandang kita sebagai debu, Ia justru menghampiri hati manusia secara personal, orang demi orang. Dan di situlah Ia mendirikan kemah-Nya, memilih untuk mencintai setiap manusia dengan kasih yang tidak dapat dikatakan.
“Saya tidak mengerti kenapa Anda mau melakukannya,” komentar saya setelah beberapa saat.
Bapa tersenyum. “Kasih, nak. Kasih. Lihatlah Aku dan apa yang kamu lihat?”
“Setiap elemen dalam diri Anda, Bapa, adalah Kasih itu sendiri.”
“Ya. Sekarang kamu mengerti betapa sakitnya hati-Ku saat ada anak yang menolak Aku.”
Saya terdiam lagi, memproses kata-kata-Nya. “Saya ingin mengasihi Anda dengan segenap hati.”
“Oh, kamu dapat melakukannya, kok.”
“Yang benar?”
Bapa mengangguk senang. “Iya, dong. Kan kamu telah terlebih dahulu Kukasihi... Maka kamu pun dapat mengasihi.”
Otak saya—bila roh punya otak—segera mengeluarkan ayat mengenai hal ini. “Saya bisa mengasihi karena telah lebih dahulu dikasihi Tuhan,” saya membeo ayatnya. “Tapi, Tuhan, terkadang saya suka bete sendiri... Akhir-akhir ini keinginan daging selalu muncul dan itu membuat saya menderita.”
“Begini, nak... Bukan ‘daging’-nya yang membuat kamu menderita, tapi api si Iblis yang mendapat sasaran.”
Sebelum saya protes dan bertanya, Ia melanjutkan, “Jangan berikan Iblis sesuatu untuk dibakar. Ia akan terus menyalakan api di hatimu. Dan hanya ada kesakitan bila api itu menemukan sesuatu untuk dibakar, dan itu adalah daging.”
“Jadi... Daging adalah bahan bakar-bakarannya Iblis...?”
“Benar! Kalau kamu tidak menyediakan ‘bahan bakaran’, ia juga tidak akan dapat menyulut api di hatimu dan melukaimu.”
Hmm... Rasanya saya mulai mudeng. “Boleh saya tulis ini?”
“Tulislah.”
Sebagai kata-kata undur diri, saya mengucapkan, “I hope Your children come to You.” Soalnya saya nggak mungkin mengatakan ‘semoga Anda sehat selalu’...
“I hope so,” Bapa mengangguk ringan. Saya dapat menangkap pengharapan dan kasih yang murni dibalik suara-Nya. “Write, then, so they may know and come to Me.”
“Aye, Father.”