Author : Felicia Yosiana Gunawan
Beberapa hari sebelum perang besar yang sesungguhnya dimulai, saya diberikan pelatihan khusus oleh Tuhan. Ia mengajari saya Hikmat bermazmur, dalam teori maupun praktek. Ia juga mengajak saya untuk melakukan berbagai-bagai macam persiapan, berdoa lebih, dan menjaga aktivitas saya agar tidak membocorkan bejana urapan. Selain itu, Bapa juga mempersiapkan dan memberikan saya kekuatan baru untuk menghadapi perang besar dengan anggota minim ini.
Ia memberikan saya Yosua 11, Yehezkiel 31, Mazmur 91 dan 31 untuk bahan perenungan. Tentu saja, semua ayat-ayat di atas didiktekan langsung oleh Roh Kudus. Saya hanya bisa planga-plongo melihat betapa Ia mempersiapkan segala-galanya dengan presisi yang luar biasa. Hikmat mengatakan bahwa perang ini akan menjadi sebuah ajang naik level yang sangat radikal dan berbahaya. Ia menjelaskan, bahwa untuk membawa seseorang ke level yang jauh lebih tinggi dengan cepat, tidak ada cara lain dengan membawanya ke tempat yang juga levelnya jauh lebih tinggi. Dan itulah yang Ia lakukan kepada kami bertiga.
“Kalian Fondasi Tim Doa ini,” jelas Tuhan beberapa malam sebelumnya. “Aku tidak pernah salah pilih. Aku tidak pernah tidak mempersiapkan. Dan sekarang, untuk membawa anggota-anggota lain naik level, kalian—sebagai pilar terbesar TD—terlebih dahulu harus lulus dari level yang sekarang.”
Saya cuma bisa ngangguk-ngangguk dengan kalem. Habis mau protes juga percuma, saya lagi dirundung perasaan pingin membantai sansak saat itu. Kalau menurut Sis Gitta, katanya ‘amarah rohani’ saya lagi tinggi. Singkatnya, api peperangan Roh Kudus saya lagi berkobar dengan hebat-hebatnya. Dan ini semua benar-benar nyata: saya jadi tidak bisa diam selama tiga hari, dari yang bawaannya pingin marah-marah jadi gregetan sendiri kepingin cepat-cepat perang. Tuhan baik sekali mau membiarkan ‘amarah’ itu tersalur sebagian dalam doa keesokan paginya.
“Ini perang yang sangat menguras tenaga, bukan?” tanya Roh Kudus besok paginya. “Karena itu Aku sudah menyiapkan strategi untukmu. Hari-hari sebelum perang, tugasmu adalah menanam granat dan ranjau di daerah lawan.”
“Ha? Anda serius?” tanya saya, setengah kaget setengah excited.
“Iya. Dengan begini, saat perang kalian hanya tinggal mendetonasi bom-bom itu dan menembakan panah api ke granat yang sudah ditanam saja. Lumayan hemat tenaga, lho.”
Setuju dengan pemikiran Sang Taktisi, saya pun menerapkan misi ‘penanaman granat, ranjau dan bom’ ini dengan pujian dan penyembahan. Dan belum saya sempat bersalto-salto ria sambil menebar granat, sms dari Harvi masuk. Isinya kurang lebih adalah pernyataan perang dan daftar musuh-musuh yang harus terlebih dahulu kami bantai dengan panah dan ballista sebelum perang di hari H. Kalau Anda ingin tahu, roh-roh yang harus ditembaki dulu itu adalah: roh pembuta dan penuli, roh amarah, roh pencuri urapan Roh Kudus, dan roh-roh jenis lainnya yang setipe dan dapat menurunkan kapabilitas bertempur kami nanti. Dan tidak lama sesudahnya, muncul message dari Sis Gitta yang mendaftarkan sekitar 100 lebih jenis roh yang harus dihantam.
Saya tidak kaget lagi melihatnya. Sebaliknya, saya justru semangat! Kenapa? Gantian, dong! Saya sudah bosan nih dikerjain mereka terus! Saya sudah bete melihat roh-roh jelek ini merusak kehidupan Tim Doa dan anak-anak Allah lain! Gantian sekarang; kami yang akan mengerjai mereka di dalam Tuhan!
Ehem. Barbar, memang... Tapi rasanya gimana sih setelah mengetahui siapa yang ada di balik semua kejatuhan Anda dan keluarga Anda selama ini? Bete, kan? Ya seperti itulah kira-kira perasaan saya waktu itu.
Setelah menguduskan rumah dan memasang ‘sekat’ Roh Kudus di rumah, sms dari Harvi masuk kembali. Isinya adalah daftar peran kami pada hari esoknya—semuanya didapat langsung dari Sang Komandan Agung.
Harvi bertugas sebagai Pemimpin, Penyerang Utama dan Peniup Sangkakala. Aloi bertugas sebagai Pengintai dan Penjaga Barisan. Sedangkan saya ditugasi Roh Kudus untuk menjadi Penjaga Api dan Stabilitator. Harvi menyertakan validasi penugasan saya dengan ayat Yoel 2:3 yang langsung ia dapat dari Tuhan.
“Tugas kamu,” celetuk Tuhan waktu saya sedang di-briefing secara personal, “adalah menjaga rekan-rekanmu. Kamu yang paling ‘tua’ di sini. Kamu bertanggung jawab atas ‘punggung’ mereka.”
Saya menelan ludah. Saya sudah tahu akan jadi seperti ini. Belum lagi, beberapa anggota Tim Doa sudah melaporkan berbagai pengelihatan soal Api Peperangan beberapa saat sebelumnya... Saya yakin banget bakal babak belur dalam perang berskala jumbo kayak gini. Tapi tidak apa, deh... Saya yakin Tuhan punya strategi dan taktik perang yang brilian. Nggak mungkin Dia mengutus kami untuk mati di tengah jalan.
Dan yang lucu, Tuhan sangat bersemangat di hari-hari itu. Saya tahu saya memang lagi terbakar Api Roh Kudus dan baru kesiram urapan perang, tapi saya sampai takjub sendiri melihat Tuhan se-semangat itu. Ia bahkan sampai mengirimkan 1 Raja-raja 13 melalui Harvi.
“Lihat,” kata-Nya hepi saat saya masih bengong sama ayat 3, “semua rencana-Ku keren, kan? Namamu saja sudah Kupersiapkan dan Kupikirkan baik-baik sebelum kamu lahir.”
Sekedar info, nama saya, Yosiana—“Josiah” atau “Yosia” dalam Alkitab—memiliki arti “Api Tuhan” dalam bahasa Ibrani. Saya rasa bokap dan nyokap saya tidak berpikir sampai kesitu waktu mencarikan saya nama, tapi rupanya Tuhan telah mempersiapkannya!
Saya pun menghabiskan sisa sore dan malam itu dengan menggali info dari Alkitab dan mendalami strategi perang Gideon—strategi perang yang akan kami gunakan. Saya juga dituntun Tuhan untuk bermazmur, dan mendeklarasikan iman saya secara audibel. Nah, di saat itulah Tuhan memberikan persiapan terakhir saya menjelang perang: sebuah pangkat.
Pada saat saya sedang sibuk bermazmur dan mendeklarasikan siapa Tuhan yang saya sembah, tiba-tiba dari mulut saya keluar kata-kata, “I salute Thee.”
Gile... Itu kata-kata bahasa Inggris dengan gaya archaic, gaya kuno kerajaan Inggris! Kenapa saya tiba-tiba bisa mencelos ngomong begitu sama Tuhan?
Sebelum saya sempat bingung sendiri, Hikmat mengalir dan saya langsung tahu bahwa saat itu roh sayalah yang berkata-kata, bukan jiwa dan pikiran. Dan saat itu juga pengelihatan menyeruak: saya sedang berada di hadapan Takhta Bapa. Tapi kali ini Taktha Bapa seperti sebuah War Council. Saya, dari sudut pandang orang ketiga dalam pengelihatan Alam Roh, melihat diri roh saya sendiri dalam balutan baju zirah perak dan jubah putih bersih. Diri roh saya sedang berlutut di hadapan Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Sedetik setelah roh saya mengucapkan greeting ala ksatria Inggris kuno itu, Bapa mengangkat satu tangan-Nya. Dan Ia berkata, “Rise a Knight.” Yang berarti “Berdirilah sebagai seorang Ksatria.”
Saya, di dunia nyata, nyaris lompat dari posisi berlutut di pinggir ranjang. “Apaaaaaaaaaaaaaa?” teriak jiwa saya masih syok. Roh saya sih stay cool, tapi otak saya masih kejang. Frasa yang dipakai Bapa itu adalah kata-kata pentahbisan seorang prajurit yang tidak punya darah bangsawan menjadi seorang ksatria Kerajaan! Info tambahan, saya tahu hal-hal begini karena sempat punya hobi menulis fiksi dan banyak melakukan studi soal struktur kebangsawanan kerajaan-kerajaan kuno dan tingkat hirarki militer.
Oke, kembali ke topik awal: Knight itu pangkat yang lumayan tinggi dalam hirarki militer Kerajaan! Lha, saya ini masih cupu dan kurang sana-sini, kok bisa-bisanya Dia angkat jadi Knight?! Apalagi pangkat itu menyimbolkan status kebangsawanan tingkat awal!
Tapi rupanya Tuhan tidak menghiraukan kepanikan otak saya. Ia kemudian menyematkan semacam emblem emas berbentuk elang yang sedang mengembangkan sayapnya di armor saya. Dan saya syok berat waktu keesokannya, saya melihat tanda yang sama sudah tersemat di baju zirah Aloi dan Harvi...
—Bersambung... Serius, nih... Ini testimoni panjang banget dan gak mungkin saya skip langsung ke medan laga. Banyak info penting yang sudah dikecam Roh Kudus supaya dibagikan... Tenang, tenang, judul berikutnya langsung masuk ke adegan baku hantam, kok... :p