Author : Felicia Yosiana Gunawan
1 Febuari 2012.
Saya, Bro Aloi dan Bro Harvi mendapatkan tugas super-edan dari JC beberapa hari sebelumnya. Tugas ini, yang Ia sampai delegasikan kepada Sis Gitta Diana karena kami masih tidak percaya, tergolong kelas berat dan nyaris mustahil. Apa tugasnya? Perang bertiga membantai sekitar seratus lebih jenis roh yang sedang mengusik Tim Doa, Komsel Sis Gitta, dan Indonesia juga.
Serius, ini kami tidak ada persiapan sama sekali kok disuruh perang? Hutang perang kami saja sama Tuhan masih menggunung, ini lagi tambahannya agak-agak tidak masuk akal...!
“Ini perang penting,” adalah satu-satunya yang Roh Kudus katakan kepada saya saat itu. Yah, saya waktu itu memang lagi dalam masa-masa setres pasca-perang satu minggu sebelumnya. Sekedar info, seminggu sebelum tulisan ini ditulis, Tim Doa dan Komsel di Jogja mengadakan perang gabungan yang... ehem... Penuh warna dan tergolong barbar. Kelas berat sekali pokoknya. Dan berhubung saya saat itu memegang perang sebagai Tembok Luar, semua serangan musuh terhadap kami pasti kena ke saya duluan. Bisa Anda bayangkan sekarang betapa gilanya luka-luka saya setelah perang. Tidak tanggung-tanggung, saya langsung uring-uringan dan bad mood selama sekitar lima hari setelahnya. Baru setelah saya mendapat tugas inilah saya ‘bangun’ dan siap-siap dengan kelabakan.
Saya bingung sekali saat pertama kali disuruh berperang dengan tiga personil. Apa yang kami akan lakukan? Kemarin saja perang bertujuh lebih (belum ditambah bala bantuan dari Komsel dari Jogja) kami babak belur dan masih hutang. Ini ada apa lagi?
Rupanya jawabannya muncul dari Tim Doa sendiri.
Setelah Hikmat mencerahkan pandangan saya—yang baru galau berhari-hari—saya baru menyadari bahwa baik Tim Doa dan Komsel sedang diserang besar-besaran. Itu semua nyata sekali dari mood teman-teman TD yang lagi tidak karuan, perseteruan, serangan mimpi buruk dan bahkan ancaman perpecahan dalam TD. Dari sisi Komsel Sis Gitta di Jogja, mereka sedang mengalami serangan beruntun berupa kecelakaan, serangan fisik dari roh-roh jahat dan hal-hal serupa. Bahkan di Alam Roh, saya dan Harvi sudah melihat keadaan yang sangat mengenaskan... Beberapa prajurit TD ada yang sudah membuang pedangnya dan duduk sambil bengong, ada yang lagi asyik joget sendiri tanpa memikirkan teman di sebelahnya, ada juga yang masih babak belur pasca-perang dan sedang bertarung dengan kewalahan. Oke, ini cukup bikin saya tambah bete.
Di situlah Roh Kudus memberikan Hikmat, bahwa kalau saat itu ada yang harus bertahan di garis pertahanan terakhir, itu adalah kami bertiga: Harvi sebagai Komandan Tim Doa, Aloi sebagai Wakil Komandan, dan saya sebagai Pilar Fondasi TD rangkap Hansip...
“Cepat bangun!” gebrak Tuhan dengan kencang pada tanggal 30 Januari. “Kamu mau biarkan Tim ini hancur? Siapa lagi yang akan berperang kalau bukan kamu?! Maju!!!”
Teriakan itu rupanya juga dirasakan oleh Harvi. Dan baru di situlah kami sadar bahwa perang ini adalah perang demi saudara-saudara kami sesama wajib militer Allah sendiri. Dan berhubung Hikmat mengatakan untuk merahasiakan perang ini dari anak-anak Tim Doa lainnya, kami pun tutup mulut. Saya hanya mengedarkan sms yang isinya adalah ajakan untuk meminta proteksi lebih dan untuk bergumul dengan Tuhan untuk minggu-minggu ini. Setidaknya, saya berharap mereka akan lebih dahulu bangkit sendiri dari keadaan mengenaskan yang saya lihat sebelumnya. Baru deh urusan pengepungan si jelek diurus lewat perang.
Dan setelah dua hari lebih saya bersiap ini dan itu, dibuat berlari dari satu tempat ke tempat lain oleh Roh Kudus dan ghostbusting besar-besaran di rumah, Tuhan memberikan saya sesuatu. Sebuah mimpi yang menjadi kunci perang 2 Febuari 2012.
Latar mimpi itu adalah sebuah kapal perang yang canggih, seperti dalam game perang tembak-tembakan yang hi-tech. Saya ingat keadaan saat itu: langit cerah, dan saya yang lagi bergila-gila ria dengan musuh yang mengejar-ngejar kapal. Saya saat itu berada di buritan kapal perang yang ‘plong’. Tidak ada orang di buritan selain saya, dan saya dapat melihat musuh-musuh aneh berupa monster-monster berbentuk gurita besar sedang melayang dengan cukup cepat ke arah kapal. Saya, dalam balutan baju militer hi-tech dan bersenjatakan machine gun, menembaki mereka dari jarak yang lumayan jauh.
Tapi sulit sekali menumbangkan satu saja dari mereka! Mereka besar, dan pertahanannya tebal sekali. Saya harus menembaki mereka dengan tembakan beruntun selama kurang lebih dua menit baru mereka mati. Itu juga mati satu tumuh seribu. Saya makin panik, tahu pasti bahwa persenjataan saya sangat minim untuk musuh besar jenis ini.
Tiba-tiba, sebelum saya sempat komplain, Tuhan Yesus muncul. Saya tidak ingat melihat muka-Nya, tapi Ia saat itu seperti dalam rupa kabut terang yang tidak berbentuk. Ia mengambil senjata lama saya dan menukarnya dengan sebuah laser canon super-besar yang sampai harus dipasang di bahu saya biar bisa dibawa-bawa. Dan ini sungguh luar biasa! Dalam dua tembakan saja, saya bisa menghancurkan musuh yang ukurannya jumbo-jumbo! Keadaan segera berbalik dengan cepat.
Adegan berganti dan rupanya kapal perang yang saya tumpangi telah sampai dengan selamat ke daratan. Saya ingat bahwa daratan itu adalah pesisir sebuah pulau besar yang kelihatannya seperti kompleks perindusterian yang sangat besar dan rumit petanya. Saya tidak melihat ada orang lain ataupun musuh di situ. Maka, berjalan hati-hati dan sembunyi-sembunyi di setiap blok, saya mulai menyusuri pulau sepi itu.
Rupanya saya tidak sendirian. Ada musuh sejenis monster gurita berkepala otak yang besarnya setara dengan mobil mini-bus. Monster-monster ini tapi agak aneh. Mereka tidak lagi terbang-terbang dan bergerak bebas seperti saat mereka mengejar-ngejar saya sebelumnya. Mereka melekat kepada dinding atau lantai pabrik. Ada juga yang melekat kepada persenjataan artileri besar di sana—spekulasi saya, untuk mengontrolnya. Saya pun segera mengarahkan senjata dan membidik mereka dari kejauhan, tetap berusaha tersembunyi. Dan bum... Satu tembakan saya lepaskan. Efeknya besar, dan lagi-lagi, hanya butuh dua tembakan untuk mengalahkan monster aneh ini.
Tapi ada yang aneh. Biarpun mendengar suara laser canon saya, tidak ada alarm yang berbunyi atau musuh yang segera mencari keberadaan ‘penyusup’ di pulau itu. Rasanya pulau itu benar-benar kayak industri mati. Tapi tentu saja, ini tidak benar. Saya melihat mata mereka bergerak-gerak, hanya saja mereka tidak bergerak dan tetap melekat pada tempatnya. Ada juga sih, monster-monster yang lebih kecil dari si otak-gurita dan bisa berjalan, tapi gerakan mereka lamban sekali dan ada polanya, jadi mudah untuk saya prediksi.
Di tengah-tengah misi saya memberantas monster di kompleks sunyi tersebut, mendadak saya menemui seorang saudari Tim Doa, Sis Meitri. Saya bingung, kenapa orang ini ada di sini...? Bukannya kami merahasiakan perang ini dari anggota TD manapun selain mereka yang dipanggil perang?
Pertanyaan ini terjawab belakangan saat saya bangun. Tapi di dalam mimpi analogis tersebut, Meitri datang dan membantu saya mengalahkan para monster dengan sangat barbar dan bersemangat. Walaupun persenjataan dan perlengkapannya tidak secanggih saya, ia benar-benar nekad dalam menjalankan misi. Kalau saya bergerak hati-hati dan sembunyi-sembunyi, ia jauh lebih sering lompat pagar dan main hantam one to one sama musuh. Padahal, kalau saya tidak membantu menembak musuh dari belakang, pasti butuh waktu lama untuk mengalahkan monster jumbo jenis gurita itu!
—Bersambung... :p