Author : Felicia Yosiana Gunawan
Setelah satu malaman saya berdoa meminta proteksi dan kekuatan secara bombastis, akhirnya saya menutupnya dengan mengatakan, “Maaf ya, Bapa, saya cerewet...”
Bapa tersenyum geli. Ada kehangatan yan gmenjalar dari senyuman-Nya. “Nggak apa, kok.”
Saya merasa agak kurang sopan telah membombandir Beliau dengan sederet ‘tuntutan’. Jadi, untuk menyeimbangkannya sedikit, saya bertanya, “Apa yang Anda inginkan untuk besok?”
Senyum Bapa tambah lebar dan antusias. “Proklamasikan kebesaran Nama-Ku! Majulah! Jangan khawatir dengan penyertaan-Ku!”
Sebelum saya sempat membalas, Tuhan Yesus muncul di samping saya. Ia SANGAT besar! Kira-kira... seratus juta kali saya. Ia sedang mengendarai kuda putih yang telah berbalutkan baju zirah. Dan Tuhan Yesus sendiri mengenakan baju zirah emas! Betapa luar biasanya Jehovah Tseaboth—Ia ikut maju bersama para prajurit-Nya!
Menangkap antusiasme saya, Tuhan Yesus tersenyum dan menoleh kepada saya seraya berderap pelan. “Daughter, daughter, are you ready?”
Saya pun hormat sambil nyengir, lalu undur diri dari Takhta Bapa. Memasuki 2 Febuari dengan sederetan kejadian aneh, api peperangan pun akhirnya disulut tinggi-tinggi di Alam Roh.
Pagi 2 Febuari pun datang. Saya bangun sekitar jam 10 A.M... Maklum ya, saya benar-benar harus istirahat panjang untuk mempertahankan stamina. Tuhan baik sekali memberikan saya istirahat sepanjang itu di hari-hari insomnia saya.
“Pagi, pagiiiii,” sapa saya setengah tidur setengah semangat pada seluruh isi rumah—para malaikat perang yang telah berjaga di dalam dan sekitar rumah saya dan tentu saja, Tuhan sendiri.
Mereka semua menoleh serempak dan tersenyum. “Siang,” koreksi mereka serempak.
Saya tertawa.
Setelah sarapan dan bersiap-siap untuk Saat Teduh dan briefing terakhir di hari itu dengan Tuhan secara personal, kembali sms dari Harvi masuk. “Doa, doa, doa!” isi pembuka smsnya. “Ada badai yang berusaha memadamkan api peperangan kita—gue dan Aloi udah kena. Ini gue bangun dengan badan kayak mau flu. Tapi entah kenapa, api loe tetap gede, big sis...”
Hmm... Apa saya nggak kepengaruh badai karena saking cueknya, ya? Atau malah terlalu udik dan kurang persiapan...? Ah, bodo amat lah. Yang penting, badai ini harus segera ditangani. Tapi bagaimana caranya, ya?
“Markus 4,” bisik Roh Kudus.
Saya menurut, dan segera membuka pasal yang Ia diktekan. Dan... Saya nyengir lebar saat menemukan judul perikop yang saya butuhkan: “Angin Ribut Diredakan”. Yeah! Tuhan kita memang keren! Dan tentu saja, saya pun langsung melakukan apa yang telah Ia contohkan: menghardik badai itu. Dan... pengelihatan memvalidasi bahwa badainya telah surut. Saya segera menyebar sms kepada Harvi dan Aloi untuk melakukan hal yang sama.
Akhirnya, jam yang ditunggu-tunggu datang. Kami bertiga berkumpul, dan entah kenapa, kami kalem sekali. Sis Gitta, yang akan menjaga barisan belakang kami sementara kami maju berperang, yang malah nervous. Ia memang tidak diperbolehkan maju berperang bersama kami oleh Tuhan, alasannya adalah ia harus hemat tenaga untuk perang hari Sabtu. Jadilah ia ditempatkan Tuhan di garis belakang untuk menghalau bala bantuan musuh. Kesaksiannya akan kami masukan setelah testimoni ini.
Setelah mengawali dengan puji-pujian dan doa proteksi dan pengaktivan sekat Roh Kudus, kami pun mulai menggempur secara intens. Harvi, seperti perannya, melesat kencang ke depan dan membuka barisan. Semua yang terjadi pada awal benar-benar sesuai dengan Yoel 2 yang baru diberikan Tuhan kemarin! Yah, sesuai sampai kira-kira di pertengahan.
Setelah sekitar sepuluh menit kami menggempur pertahanan terdepan mereka, pengelihatan kami mulai bekerja dan kami melihat berbagai hal yang menjijikan. Rupanya para letnan dan komandan barisan musuh sudah mulai mengamuk dan bersiap menerjang. Wah, kami harus gimana? Saya dengan jelas melihat Tauros, Anubis, dan sederet roh-roh pejuang tingkat wahid lainnya di hadapan kami, sedang berteriak-teriak menyusun barisan. (Info tambahan: roh-roh jahat memang bentuknya macam-macam. Jangan tanya saya kenapa, itu akan kami jabarkan sebisa kami nanti.)
“Tulah!” tiba-tiba kata itu menyeruak di benak saya. “Tulah, guys! Tulah! Kita bisa pakai Tulah untuk mengembalikan keadaan!” teriak saya di tengah-tengah.
Tentu saja, Tulah Allah! Senjata yang sangat mengerikan dan luar biasa ini kenapa tidak dipakai kalau surat pemakaiannya tertera di dalam surat prajurit kami? Roh Kudus segera memberikan approval dan kami mulai meminta arahan bagaimana cara menggunakan senjata keren ini. Dan Puji Tuhan, jawabannya mengalir melalui Hikmat dalam beberapa detik saja.
“Apa Tulah yang dapat mengacaukan dan melemahkan barisan musuh?” batin kami.
Dan jawabannya segera muncul: “Kegelapan!”
Segera saja kami bertiga mulai berdoa dan menyembah Tuhan, agar Ia mau menurunkan tabir kegelapan ke atas barisan musuh. Dan itu terjadi! Pengelihatan segera menghinggapi kami, memperlihatkan barisan musuh yang kacau balau karena mereka tidak dapat melihat. Memang musuh-musuh di barisan depan tidak terlalu terpengaruh dengan tulah itu—karena secara posisi mereka berhadapan langsung dengan kami, anak-anak Terang yang membawa Nama Tuhan.
Tapi rupanya mereka tidak mundur. Malah sebaliknya: serangan mereka tambah membabi buta. Bahkan lebih dari sekali para roh-roh penyelundup berupa imps dan shadows menyusupi benteng yang telah kami kunci. Dan itu benar-benar menambah kerjaan kami...! Kok bisa pada masuk, sih? Bukannya benteng kami sudah dikunci dan disekat oleh Nama Tuhan?
“Lebah,” kata roh saya dan mulut saya bersamaan. “Mereka menggunakan lebah untuk membuat celah kecil dan masuk melalui retakan-retakan mini...! Kita mesti gimana?”
Keadaan tambah memanas dan kami mulai agak panik. Efek benteng yang tersusupi sangat mengganggu: kami mulai merasa tidak nyaman, agak mual dan pusing, serta mengalami beberapa manifestasi roh jahat secara fisik di sekeliling kami. Saat itu roh dan jiwa saya bekerja sama berpikir keras, Tulah apa yang kira-kira dapat membasmi lebah-lebah menyebalkan ini?
Kali ini, rupanya Tuhan sendiri yang menjawab. “Katak dan Belalang! Panggil mereka di dalam Nama-Ku! Kalian punya otoritasnya!”
Validasi : Yohanes 12:36, Mazmur 35:6, Mazmur 91:11, Yakobus 1:18, Yeremia 23:12, Ulangan 20:4, Mazmur 144:1, Mikha 2:13, 2 Timotius 4:22.
—Bersambung... :p