Author
: Benedictus Harvian
“Juga kata mereka: “Mari kita
dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke
langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh
bumi.”
Apa
Saudara familiar dengan kutipan Alkitab tersebut?
Yup. Benar. Kutipan tersebut berasal
dari Kitab Kejadian 11, dengan judul perikop ‘Menara Babel’. Alkisah, populasi
umat manusia di seluruh bumi hanya memiliki satu bahasa dan logat. Mereka
menetap di satu lokasi yang sama, yang disebut Sinear atau Babilon.
Peradaban
dan kebudayaan berkembang pesat. Sistem pendirian bangunan yang tadinya hanya
menggunakan batu, berkembang menjadi menggunakan batu bata dan ter. Dan pada
saat itulah muncul pikiran untuk membangun menara yang menjulang tinggi
mengatasi semuanya. Untuk apa, kata mereka?
“..marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak
ke seluruh bumi.”
Kelanjutannya, seperti
yang kita sudah ketahui sendiri, Tuhan mengacaubalaukan bahasa mereka yang
tadinya satu menjadi berbagai macam. Pembangunan menara Babel tersebut pun
gagal.
Apa yang dapat kita
tarik dari kisah tersebut?
Sehari sebelum saya
menulis renungan ini, Tuhan memberikan suatu vision ketika saya sedang berdoa. Pada landscape roh saya, saya melihat banyak sekali—ratusan, mungkin—menara-menara.
Dan menara tersebut tidak memancarkan suasana yang agung dan damai layaknya
sesuatu yang berasal dari Tuhan. Sebaliknya, menara tersebut memancarkan kesombongan, ego, kepentingan diri sendiri,
dan fitur-fitur kedagingan lainnya.
“Apa itu, Tuhan?”
Roh Kudus memberikan
pengertian bahwa menara tersebut adalah menara-menara Babel yang telah saya
biarkan dibangun di dalam diri saya. Di dalam jiwa maupun roh saya. Bagaimana
menara tersebut dapat dibangun?
Ternyata, yang menjadi
katalis dibangunnya menara tersebut adalah acap kali kita merasa mampu tanpa Tuhan, kecewa dengan rencana Tuhan, merasa sudah
paling benar, merasa pencapaian kita adalah berkat usaha kita sendiri, dan
masih banyak lagi sifat kedagingan lainnya. Itulah masalahnya pada kasus saya.
Dengan kata lain, kesombongan. Cari nama seperti yang dikatakan pada
pembangunan menara Babel. Kalau begitu apa yang sebaiknya menjadi sikap hati
kita?
Bibit kesombongan
memang akan ditebar, baik oleh sifat kedagingan kita sendiri atau oleh si
jahat. Tapi tergantung kita apakah akan memupuk dan memelihara bibit tersebut
hingga tumbuh besar dan subur, atau sebaliknya minta Tuhan untuk bersama-sama mengecek hati dan roh dan minta Ia
mencabut bibit-bibit tersebut.
“Berjaga-jagalah dan berdoalah,
supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging
lemah.” –Mat 26:41
Ya.
Minta Tuhan cek hati kita lagi dan lagi. Karena percayalah, kesombongan pada
akhirnya akan menjatuhkan kita sendiri. Pada sisi sebaliknya, kerendahan diri
juga merupakan bentuk kesombongan. Seorang pendeta pernah bercerita bahwa
kesombongan dan kerendahan diri adalah layaknya gunung dan lembah. Keduanya
sama-sama dapat membuat kita jatuh.
At
the end of the day, setelah aktivitas
kita, luangkanlah waktu berkontemplasi dengan Tuhan. Buka hati, dan terima
koreksi-koreksi dari-Nya. Kadang kita cenderung membenarkan diri sendiri, tapi
percayalah bahwa Ia tahu lebih dari Saudara.
Pada
sisi lain, cerita mengenai menara Babel juga berarti satu hal. Persatuan atau
yang biasa disebut unity adalah suatu hal yang luar biasa penting. Selain
itu, komunikasi juga. Bagaimana tidak, ketika bahasa dipecah-belah, pembangunan
menara tersebut langsung terhenti tanpa ada bekasnya lagi.
“Janganlah kita menjauhkan diri
dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang,
tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang
hari Tuhan yang mendekat.” –Ibr 10:25