Author : Felicia Yosiana Gunawan
A/N : Berawal dari kebodohan setiap member Tim Doa, yang telah diberikan nama baru oleh Tuhan yaitu tim Lawak, kami dengan bangga... ehem. Dengan nggak tahu malu mempersembahkan jurnal "Stupidity" di blog Adoniyah tercinta~
Jurnal Stupidity, seperti namanya, adalah sebuah rangkaian entry jurnal berantai yang akan terus berjalan mulai ke depannya. Dan seperti yang bisa ditebak pula, jurnal ini berisi berbagai kebodohan dan keanehan anak-anak Tim Doa bentukan Sang Bapa. Dan sekedar info, kejadian yang kami tulis ini NYATA dan benar-benar TERJADI. Tidak ada pemalsuan, tidak ada penipuan.
Selamat membaca... Dan harap jangan terinspirasi dengan kebodohan kami. Ehem.
25 Febuari 2012. Sebuah testimoni perang.
“Loe dan loe,” kata saya garang kepada Meitri dan Yani, “gue minta jawaban atas keganasan liar nan idiot kalian di Alam Roh.”
Mereka nyengir penuh arti. Buat saya, itu lebih ke arah cengiran idiot yang nyebelin dari pencuri yang ketangkep basah dan ngaku sambil malu-malu kucing.
Kedua cewek berusia sembilas belas tahun ini emang sudah kena black-list di agenda saya... Kenapa? Karena sensor roh saya mengatakan bahwa mereka adalah bocah-bocah yang bakal gila en sakau pertama di peperangan. Bisa lah ya Anda bayangkan kedua orang ini kayak apa kalau lagi teriak-teriak gila sambil menengking-nengking roh jahat. Yang satu hobi ketawa-ketiwi anarkis, yang satu lagi bakal lompat-lompat salto kalau lagi keasyikan dikeroyok musuh. Intinya, orang waras nggak akan deket-deket mereka dalam peperangan, biarpun berstatus ‘kawan’.
“Loe maen maju aja, padahal sangkakala belom ditiup,” lanjut saya garang ke tersangka perang pertama, Yani. “Gue udah duga loe bakal meledak parah begitu kesentil api perang...”
Lagi-lagi, tersangka Yani nyengir ngeselin tanpa bicara. Tidak ada tanda-tanda ia akan bertobat di perang berikutnya.
“Dan loe, Mett... Loe penjaga macem apa?! Tugas loe tadi tuh jagain anak baru di peperangan; ngapain loe nyelonong sendirian ke barisan musuh?”
Meitri mulai beringsut, gaya anak-anak yang nggak terima dimarahin. “Gue kan baik!” protesnya. “Gue mau ngelatih anak baru buat perang juga... Kan nggak seru kalau semua gue musuh yang mengincar dia gue babat sendirian... Nanti dia naik levelnya kapan?”
“Tapi nggak lucu kalo anak baru jatoh koma di perang pertama, Mett.”
Sang Komandan super-plegmatis, Benedictus Harvian, mulai menginterupsi di saat yang nggak tepat: “Masih bagus Meitri nggak megang ballista. Kalo dia pegang ballista, gak sampe lima menit kita bakal kehabisan amunisi.” Amunisi kami adalah stamina dan api Roh Kudus dalam peperangan, tentu saja. Harvi pun mencontohkan sedikit gambaran kalo orang macem Meitri pegang ballista: gaya menembak ala gattling gun sambil ketawa-ketiwi anarkis. Saya memutar bola mata sementara yang lain tertawa. (Tapi karena warna karakter pleg-pleg-nya, rasanya jadi malah konyol dan bikin pengen ngakak melihatnya).
Oh, well... Mereka kan tidak memikirkan beban seorang Hansip kayak saya...
Tapi sepertinya yang ditegur enggak merasa sama sekali, karena kemudian dia berkata, “Yaudah, gue minta aja dari JC tugas jadi penjaga anak baru sekali lagi buat menutup rapor jelek hasil perang tadi.”
Mampus gue. Berarti ada lagi satu aksi di mana anak baru terancam nyawa dan kewarasannya di peperangan, saya membatin. “Terus apa pembelaan loe, tersangka Meitri?”
“Gue baik!” ulangnya ngotot. Saya nahan keinginan melumat nih orang pake Sword of the Spirit. Memang dia bisa lucu sampe bikin anak-anak TD ngakak nggak nafas kalau lagi sinting, tapi kalau lagi kayak gini, rasanya benar-benar ujian kesabaran en pengendalian diri buat saya.
“Yaudah, yang penting perang udah selesai dengan damai,” Komandan Harvi menengahi.
Baguus, Komdan, pikir saya bete, loe belom tau aja kalo nanti para orang tua anak baru komplen ke GUE kenapa anaknya pulang Tim Doa jadi makhluk anarkis berdarah dingin.
“Lagian gue emang beneran baik,” sambung Meitri nggak nyambung. “Tahu nggak kenapa temen-temen gue mau gue seret dateng ke TD? Karena gue bayar harga pake mereka.”
Satu ruangan hening, memproses kata-kata Meitri. Kata ‘heh?’ terukir pada wajah-wajah blo’on anak-anak yang baru melepas setres di peperangan.
“Iyah, gue bayar harga ke JC pake mereka,” lanjutnya pede. Ia sedang menyinggung ‘bayar harga’ yang disebut-sebut dalam Wahyu 3:18—karena memang, tidak semua karunia dan ‘berkat’ dari Tuhan itu “gratis”, dalam arti tertentu. “Habis gue bingung mau bayar harga pake apaan lagi... Udah pake tenaga, doa, puasa, jadi sekarang gue gadaikan deh temen-temen gue buat JC.”
Kami kembali hening. Berbagai ekspresi horor mulai terlihat. Kecuali muka Meitri tentunya, yang masih cengegesan inosen dengan penuh tanda tanya atas reaksi kami.
“Emang nggak boleh, ya? Bukannya bagus, mereka jadi kejaring untuk lebih deket sama Tuhan?”
“Mett,” kata saya akhirnya, masih horor memikirkan Meitri mempersembahkan teman-temannya yang terikat plus mulut terlakban di altar Tuhan sebagai persembahan korban. “Itu idiot, tau.”
Meitri terdiam sambil manyun—mungkin memikirkan ganti harga yang lebih stupid lagi ke depannya. Sedangkan saya? Secara otomatis otak kriminal saya mulai terinspirasi untuk menumbalkan anak-anak Tim Doa aneh ini ke Tuhan dalam waktu dekat.