Author : Felicia Yosiana Gunawan
26 Agustus 2012
Saya ini tadinya punya kebiasaan buruk: selalu merasa rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri. Singkatnya, saya adalah orang yang sangat jarang merasa puas. Tentunya, kalau sudah sulit puas seperti itu, maka saya juga adalah orang yang kalau bersyukur jadinya setengah-setengah. Yah, ini blog, kan... Jadi saya bebas dong menggunakannya untuk pengakuan dosa?
Ehem. Kembali ke topik bahasan tentang saya yang suka kurang bersyukur dan overambisius ini. Sebenarnya saya sudah sering ditegur oleh Firman Allah dan juga Roh Kudus supaya lebih bisa bersyukur, tapi apa mau dikata, baut di otak sudah berkarat dan sulit untuk dicabut. Butuh waktu yang lama bagi orang berkepala batu kayak saya untuk ganti program.
Nah, suatu kali, saya sempat tergampar oleh suatu pertanyaan yang biasa dilontarkan ke anak-anak Tim Doa: “Bagaimana cara kalian berkomunikasi sama Tuhan?”
Mendengar pertanyaan itu, saya—yang biasanya sudah punya mekanisme menjawab otomatis—tiba-tiba merasa di’cubit’ Roh Kudus. Saya tiba-tiba sadar, bahwa selama ini, saya tidak berbeda dari orang-orang yang menanyakan pertanyaan itu kepada saya.
Well, karena sifat yang susah bersyukur dan dipenuhi paradigma negatif, saya ini sering sekali bertanya-tanya bagaimana orang-orang sukses yang berhasil membuahkan banyak karya di dalam Tuhan bisa jadi sehebat itu. Saya sering bertanya, kira-kira mereka saat teduh berapa lama dalam sehari, bagaimana mereka memandang Allah, cara mereka menyembah, dan seterusnya. Bisa dibilang, saya terobsesi mempelajari cara hidup orang lain yang saya nilai telah cukup ‘sukses’ dibimbing Tuhan mendaki tangga kemenangan. Karena merasa rumput tetangga selalu lebih hijau en empuk dibanding rumput sendiri itulah saya sering sekali menghabiskan waktu mempelajari cara mereka merawat rumputnya.
Tapi ternyata, bukan itu yang Tuhan mau saya lakukan.
Hikmat mengajarkan saya saat itu juga, bahwa sebenarnya, menghabiskan waktu memperhatikan tetangga mengurus rumputnya itu percuma. Kenapa? Karena tipe rumputnya beda!
Yep, rumput saya dan rumputnya Cindy Jacobs beda. Begitu juga rumput Cindy Jacobs dan rumputnya Rebecca Brown. Semuanya unik dan butuh cara perawatan yang berbeda-beda; tidak bisa disikat sama rata. Jenis pupuk yang dapat membuat rumput Cindy Jacobs subur dalam waktu satu bulan mungkin saja malah membuat rumput saya langsung kering.
Tuhan ingin menunjukan bahwa Ia punya cara yang kreatif dan unik bagi setiap individual untuk bertumbuh di dalam-Nya. Memang, protokol-protokol dasar seperti pembacaan dan perenungan Firman secara rutin, berpuasa dan berdoa syafaat itu tetap berlaku bagi setiap orang percaya, tapi cara pelaksanaan dan timing-nya pasti berbeda-beda. Ia tidak akan memaksakan cara-Nya dalam mendidik saya kepada orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Di situlah, menurut Roh Kudus, landasan setiap orang untuk bersyukur dan berharap kepada Allah.
Coba kita lihat sedikit contoh yang ada di Alkitab. Perhatikan baik-baik gaya hidup Rasul Paulus yang nomadik dan gaya hidup sederet tokoh Alkitab lainnya yang berbeda-beda warna. Ada Daud, gembala yang dipanggil Tuhan menjadi raja. Ada Yohanes, rasul yang dipilih Allah untuk menuliskan Kitab Wahyu pada hari-hari pembuangannya di pulau Patmos. Ada juga Yohanes Pembaptis yang dikhususkan sejak lahir dan hanya makan belalang serta madu. Nah, bukankah mereka semua punya gaya hidup di dalam Tuhan yang berbeda-beda?
Lihat: yang dipanggil menjadi Rasul berjalan dari satu kota ke kota yang lain dengan fokus menyebarkan Injil. Yang dipanggil menjadi raja berdiam di dalam istana dan sibuk mengatur negara serta urusan politik demi umat Tuhan. Mereka yang dipanggil menjadi imam senantiasa mondar-mandir di Bait Allah untuk melaksanakan panggilannya, dan saya rasa tidak perlu lagi saya sebutkan sederet perbedaan lainnya dalam hidup di dalam Firman Allah.
Maka, apakah semua orang dipanggil menjadi rasul? Tentu saja tidak, karena kalau iya, kita tidak usah repot-repot membuat rumah dari beton dan semen. Bikin saja tenda dan perkampungan nomadik, toh semua orang tidak butuh tempat tinggal permanen. Atau apakah semua orang dipanggil jadi guru? Ya, enggak lah. Kalau iya, siapa yang jadi murid, pedagang dan petani? Semua orang prajurit? Lebih horor lagi.
“Jadi, buat apa kamu manyun-manyun begitu lihat rumput tetangga?” tanya Tuhan.
Saya mingkem.
“Aku nggak kurang kreatif untuk selalu membuat jalan cerita baru dalam buku kehidupan setiap orang, kok,” tambah-Nya.
Manggut-manggut bego, saya menjawab, “Tambahin iman saya, dong, Tuhan.”
“Yang kamu butuhkan sekarang bukan iman. Percuma imanmu sekarang Kutambah kalau cara berpikirmu tidak diubah. Sama saja seperti mengisi bensin ke tanki bocor tanpa memperbaiki kebocorannya.”
Ouch.
Saya bisa merasakan di dalam roh bahwa Tuhan tersenyum. Tersenyum menantang dan iseng. “Jadi, apa yang harus kamu lakukan?”
“Mulai bersyukur sama kehidupan sendiri dan mendalami panggilan pribadi,” jawab saya monoton.
“Tuh sudah tahu.”
Oke. Dia memang Tuhan. Tuhan yang sangaaat mengenal anak bandel nan pembosan kayak saya.