Author : Felicia Yosiana Gunawan
Setelah mengakhiri masa setengah tahun lebih digembleng gila-gilaan dalam bidang roh dan segala yang berbau Ilahi, maka saya pun masuk ke sebuah babak baru di akhir zaman ini. Ya, babak ini berjudul ‘Transformasi’. Kalau bukan ‘Perbaikan’, maka babak ini dikhususkan bagi saya, dan beberapa teman TD, untuk menyatukan apa yang kami pelajari di ‘Babak Roh’ ke kehidupan nyata yang lebih riil dan membaur. Saya mulai diarahkan Tuhan untuk ikut aktif di berbagai kegiatan organisasi, aktif dalam pelayanan ini dan itu di luar TD, dan segudang kegiatan lainnya yang lebih bertema sosial.
Sekedar info, ini adalah suatu pelajaran kecil bagi saya: Bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang memiliki musim bagi setiap anak-anak-Nya. Ada saatnya di mana kita akan digembleng gila-gilaan di bidang rohani sampai dikatai ‘aneh’, ‘ekstrem’ dan ‘sok suci’ oleh orang-orang yang tidak mengerti, tapi akan ada saatnya di mana Ia akan mengakhiri bab tersebut bila kita sudah dirasa mencapai target rohani-Nya. Ada juga saatnya di mana kita akan didorong untuk lebih aktif di kegiatan sosial, atau bahkan lebih aktif di belakang layar. Pokoknya, Ia tahu apa yang kita butuhkan. Saran kecil dari saya: Hiraukan saja orang lain mau bilang apa, toh mereka tidak tahu Anda sedang menjalani ‘musim’ yang seperti apa dari Tuhan. Manusia bisa berkata-kata dan menghina, tapi Tuhan yang memegang Palu Penghakiman. Jadi, selama Anda tahu apa yang Anda jalani, santai saja dan tetap melangkah di dalam Tuhan.
Nah, di babak baru ini tentu saya tidak berjalan sambil nyany-nyanyi tanpa beban. Sebaliknya, saya banyak jatuh, terperosok ke lubang keraguan, menabrak tembok-tembok paradigma serta logika, dan masih banyak lagi rintangan lainnya. Dan tentu saja, semuanya sukses membuat saya down, bete, capek serta marah-marah terhadap Tuhan. Mulai dari pertanyaan mengenai identitas diri, ambisi pribadi, karunia rohani sampai iman menghantui hidup saya selama sebulan penuh. Saya jadi bingung; saya merasa benar-benar dilempar Tuhan ke titik awal—seakan-akan semua yang saya lalui selama 18 tahun lebih tidak ada nilainya sama sekali. Saya merasa dibuang begitu saja, ditendang ke tempat pelatihan bicara anak batita rohani di mana saya merasa sudah siap untuk menjadi dewasa muda, terlebih di hadapan Allah. Rasanya kebenaran apapun yang saya temukan selalu dihancurkan di tengah-tengah.
Semua kejatuhan dan protes-protes ini membuat saya terus-terusan mempertanyakan logika dan rencana Tuhan. Saya tahu semua ayat yang menyatakan bahwa rancangan Tuhan itu tidak terduga, tidak teraba dan sempurna—membuatnya begitu jauh dari pengertian manusiawi saya. Tapi tetap saja, hati saya tidak mau menerimanya. Terkadang, pikiran dan hati saya suka berantem mengenai hal-hal ini.
“Gue nggak terima! Kenapa begini lagi? Kenapa Tuhan suka sekali lihat gue terpuruk begini?” jerit pikiran saya dengan murka pada suatu titik.
“Tapi bukannya Dia baik? Bukannya Dia selalu bekerja dalam cara-cara yang nggak bisa dipahami manusia?” balas hati—yang pasti bicara karena dikomporin Roh Kudus.
“Tapi kenapa Tuhan biarkan gue jatuh begini lagi? Bosaaan!”
Dan... masih panjang lagi skrip asli perdebatannya. Ini berlangsung selama kira-kira tiga minggu. Pikiran penat + super-sarkastis versus hati yang berusaha sok tabah dan menyerah kepada kehendak Tuhan. Lalu hasilnya apa? Saya menjauh dari Tuhan selama lebih dari dua minggu. Saya jadi malas berkontemplasi (karena berpikir bahwa itu tidak ada gunanya), malas berdoa (karena saya bosan menunggu), dan malas menyembah (karena saya merasa tidak layak).
Saya jadi malas dan mengeraskan hati. Saya mulai jadi lebih sarkastis dari biasanya dan nyaris tidak mau berkomunikasi dengan Tuhan karena malas kalau ‘salah sambung’ sama kedagingan sendiri atau si jelek. Keputusan egois saya waktu itu adalah, “Kalau emang gue dilempar terus ke level awal, mending gue nggak usah maju sekarang. Habis entar juga kan gue dilempar balik lagi ke sini... Jadi buat apa capek-capek merangkak ke level yang lebih tinggi kalau ujung-ujungnya sama ke sini lagi juga?”
Setelah capek-capek berdebat dan bersarkastis ria selama berhari-hari, akhirnya saya mulai bete sendiri sama perasaan stagnan dan tidak maju-maju. Alih-alih bertanya-tanya sambil ngomel-ngomel terus, saya akhirnya memutuskan untuk mengambil satu konklusi simpel: “Kebenaran milik saya adalah milik saya seorang. Orang lain punya Kebenaran mereka sendiri, tapi saya punya Kebenaran saya secara pribadi.”
Yap, sudah cukup Kebenaran saya dihancurkan terus oleh orang lain. Sudah cukup Kebenaran saya diusik oleh pandangan Hamba Tuhan A, Gereja Tipe B, atau Buku Rohani C. Saya punya Kebenaran simpel yang tidak bisa diutak-utik pandangan orang lain ataupun Iblis, sebuah fakta kecil yang akan terus menarik saya kembali untuk lari mengejar Tuhan dengan cara saya sendiri. Jesus loves me. Itu adalah Kebenaran saya. Dan kalau Ia mengasihi saya dan saya mengasihi Dia dan sungguh-sungguh mau mencoba mencari hidup di dalam Dia dan melayani, saya yakin Dia pasti akan turun tangan dan membimbing saya. Kalau saya benar-benar nekad ingin mengejar visi Tuhan, saya yakin Ia akan turun tangan membetulkan semua kesalahan-kesalahan saya dan mengajar saya mengenai apa yang berkenan pada-Nya. Itu saja cukup untuk saya yakini.
Kembali ke Garis Awal bukan menjadi masalah besar lagi bagi saya sekarang. Saya tahu Ia mengasihi saya, dan saya tahu saya juga penuh dengan kekurangan—sehingga Ia merasa perlu bagi saya untuk kembali ke sini dan mendalami berbagai pelajaran dasar. Rencana-Nya bukan rencana kecelakaan, minimal itu saya mau pegang. Kalau Ia merasa saya perlu kembali ke awal, maka itu adalah demi keselamatan dan pertumbuhan saya. Dan, harus saya akui, tidak buruk-buruk amat kok kembali ke Garis Awal. Saya jadi bisa lebih santai menghadapi serentetan tugas dan tuntutan karena saya memegang senjata terdasarnya: Tuhan mengasihi saya.
Tujuan saya membagikan ini kepada Anda adalah satu: Agar Anda juga termotivasi untuk mengukuhkan dasar-dasar di dalam Kristus, sesuai dengan Kebenaran yang Anda pegang dan yakini. Tidak usah terpengaruh dengan kata-kata orang lain, ambil saja yang baik, dan tilik lagi kebenaran perkataan dan pandangan mereka melalui Kebenaran Firman Allah. Tidak usah repot-repot memusingkan validasi perkataan A, dogma B, dan seterusnya... Pegang saja Kebenaran paling dasar, yaitu bahwa Tuhan mengasihi Anda. Hanya pertanyaannya, sudahkah Anda mengasihi Tuhan seperti Ia mengasihi Anda?